Rabu, 26 Juli 2017

Jika Lupa Hafalan Al-Quran Berdosa Besar, Benarkah Demikian.? Yuk Simak..

Publik Netizen - ANDA mungkin pernah mendengar pernyataan bahwa orang yang menghafalkan Al-Quran kemudian lupa maka ia telah melakukan sebuah dosa besar. Benarkah demikan?

Maka masalah ini perlu kita kaji secara lebih teliti dan mendetail, kita periksa satu per satu fatwa para ulama terkait dengan masalah ini, dengan pandangan yang lebih objektif serta menghindari tindakan gegabah dalam berfatwa.

1. Fatwa Secara Umum

Kalau kita perhatikan fatwa para ulama, memang benar kebanyakan berfatwa atas haramnya melupakan hafalan ayat Al-Quran. Bahkan ada yang sampai mengatakan dosa besar.

Berikut ini ada beberapa fatwa mereka, diurutkan berdasarkan angka tahun wafatnya :

a. Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) di dalam Majmu’ Fatawa menyebutkan bahwa orang yang melupakan Al-Quran itu termasuk berdosa.

Sesungguhnya melupakan Al-Quran itu termasuk dosa. [1]

b. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) di dalam kitabnya Fathul Bari, menyebutkan pandangan beliau terhadap orang yang belajar Al-Quran lalu melupakannya.

Tidaklah seseorang belajar Al-Quran kemudian melupakannya kecuali dia telah menciptakan sendiri dosanya. Sesuai firman Allah SWT,”Musibah yang menimpamu dari maksiat adalah yang kamu lakukan sendiri”. Dan melupakan Al-Quran termasuk musibah yang paling besar. [3]
Jika Lupa Hafalan Al-Quran Berdosa Besar, Benarkah Demikian.? Yuk Simak..

Fatwa Ibnu Hajar ini menjawab salah satu pertanyaan Anda, yaitu kalau orang lupa kok dihukum bersalah, padahal lupa itu sifat manusia, maka menurut beliau kasus itu sama saja dengan orang yang sedang dapat musibah. Memang tidak 100% kesalahan dia, tetapi tetap saja dianggap bersalah.

Perumpamaannya di zaman sekarang misalnya ada sepeda motor menabrak mobil kita dari belakang. Jelas bukan salah kita, tetapi namanya saja musibah, selain mobil rusak, biasanya kita pun ditilang juga, karena tetap dianggap telah melakukan pelanggaran oleh polisi. Kita sebenarnya tidak salah, tapi kita kena musibah dan dipersalahkan.

c. Zakaria Al-Ashari

Zakaria Al-Ashari (w. 926 H) di dalam kitabnya Asna Al-Mathalib menyebutkan bahwa melupakan Al-Quran itu bukan hanya sekedar berdosa saja, melainkan berdosa besar. Malahan menurut beliau meskipun hanya sebagian saja yang terlupa, juga sudah termasuk dosa besar.

Melupakan Al-Quran termasuk dosa besar, termasuk melupakan sebagainnya sudah termasuk juga [2]

Dasarnya menurut beliau adalah dua hadits berikut :

Aku diperlihatkan dosa-dosa umatku, ternyata yang paling besar adalah dosa orang yang telah diberikan Al-Quran, baik satu surat atau satu ayat, lalu dia melupakannya. (HR. Abu Daud)

Orang yang membaca Al-Quran kemudian melupakannya, nanti dia akan bertemu Allah dalam keadaan terpotong/kusta. (HR. Abu Daud)

2. Fatwa Secara Kritis

Kalau di atas kita dapati fatwa secara umum tentang haramnya melupakan hafalan Al-Quran, maka pada bagian ini kita akan kaji secara lebih kritis lagi, yaitu apakah hanya semata-mata lupa karena faktor manusiawi lantas kita bisa dikategorikan telah melakukan dosa besar?

Dalam hal ini para ulama melihat secara lebih seimbang, adil dan juga memperhatikan faktor manusiawi. Sebab ada banyak keadaan yang sulit juga untuk dipungkiri, antara lain :

a. Lupa Adalah Sifat Dasar Manusia

Allah SWT memang menciptakan manusia yang tidak bisa luput dari salah satu sifat dasarnya, yaitu lupa. Meskipun ada juga lupa yang disebabkan karena perbuatan syetan, namun bukan berarti manusia tidak bisa lupa.

Dalam kenyataannya, semua penghafal Al-Quran pasti tidak bisa terlepas dari masalah lupa. Tentu saja ketika hal itu terjadi, tidak bisa disamakan kasusnya dengan perbuatan bosa besar lainnya seperti zina, mencuri, membunuh nyawa manusia dan seterusnya. Kalau memang demikian, maka semua penghafal Al-Quran itu jatuh semua ke dalam lembah dosa-dosa besar secara keseluruhannya.

Padahal Allah SWT telah berfirman tentang kelemahan sifat manusia ini dan memberikan keringanan di dalam banyak ayat :

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqarah : 286)

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. At-Taghabun : 16)

b. Nabi SAW Pernah Lupa Ayat Al-Quran

Nabi SAW sebagai manusia pun juga tidak luput dari sifat lupa, karena lupa adalah salah satu fitrah manusia. Setidaknya ada dua kejadian yang bisa dijadikan dasar bahwa lupa adalah manusiawi.

Kejadian Pertama : Rasulullah SAW mengimami shalat dan pernah terlupa untuk meneruskan bacaan suatu ayat. Setelah shalat usai, seorang shahabat yaitu Ubay bin Ka’ab radhiyallahuanhu mengingatkan ayat yang beliau SAW terlupa tadi. Maka Rasulullah SAW pun menjawab :

Mengapa tadi tidak mau ingatkan?

Kejadian Kedua : Ada seseorang yang membaca suatu ayat dari Al-Quran dan Rasulullah SAW mendengarnya. Beliau bersabda :

Semoga Allah merahmati si fulan. Dia telah mengingatkan Aku atas suatu ayat yang Aku terlupa.

Dua kejadian ini jelas sekali memberikan gambaran kepada kita, bahwa meski beliau SAW seorang nabi, namun tetap saja beliau adalah manusia biasa yang bisa lupa, termasuk lupa atas suatu ayat Al-Quran pada keadaan tertentu.

Maka kita perlu bedakan dua jenis lupa. Ada lupa yang haram yaitu sengaja melupakan dan melalaikan. Tapi ada juga lupa yang bersifat tabi’i, manusiawi, serta merupakan sifat asli manusia dan tidak bisa dihindari darinya.

Dalam hal ini menarik kalau kita perhatikan fatwa dari Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia terkait masalah ini.

Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia, yang diwakili oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Abdurrazzaq Afifi, Abdullah bin Ghadyah dan Abdullah bin Qu’ud telah mengeluarkan fatwa dalam masalah ini.

Tidak pantas bagi penghafal Al-Quran melalaikan bacaannya. Dia harus merutinkan setiap hari agar terus hafal dan terlindung dari lupa. Namun bagi yang pernah hafal ayat tertentu lalu terlupa karena kesibukan atau lalai, maka dia tidak berdosa. Sedangkan ancaman buat orang yang lupa, haditsnya tidak shahih.[4]

Fatwa Al-Utsaimin

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di dalam Kitabul Ilmi menjelaskan bahwa lupa itu ada dua macam, yang satu tidak berdosa dan yang satu lagi berdosa. Dan lupa yang berdosa apabila melupakan Al-Quran dengan cara secara sengaja menolak Al-Quran.

Hal itu beliau jelaskan ketika para mahasiswa semester akhir mengadukan masalah hafalan Al-Quran mereka pada di semester-semester awal banyak yang sudah terlupa. Maka beliau menjawab bahwa lupa itu ada dua macam.

Lupa yang pertama adalah lupa terkait tabiat dasar manusia. Lupa yang kedua memang sengaja menolak Al-Quran dan tidak memperhatikannya. Lupa jenis pertama itu tidak berdosa dna tidak dihukum. Dan itu adalah lupa yang terkait dengan sifat manusia. [5]

Tidak Mau Menghafal Al-Quran Karena Takut Dosa Melupakan

Salah satu dampak negatif yang muncul apabila kita kurang cerdas memahami fatwa ini adalah adanya orang yang berpikir terbalik. Dari pada menghafal Al-Quran lalu terkena resiko berdosa lantaran bisa saja lupa, maka mendingan tidak usah menghafal saja sekalian, biar tidak ada resiko lupa dan tidak ada ancaman dosa.

Logika ini bisa saja muncul di benak kita secara begitu saja. Buat apa menghafal Al-Quran, kalau ancamannya malah jadi dosa bila terlupa?

Logika ini memang bisa jadi sangat masuk akal dan wajar bila terbersit di benak kita. Oleh karena itulah perlu juga diluruskan pemahamannya, agar tidak terbalik logikanya.

Pertama : bahwa menghafal Al-Quran 30 juz secara total memang bukan kewajiban. Bahkan dalam syarat sebagai mujtahid sekalipun, kita tidak menemukan adanya syarat hafal 30 juz. Para mujtahid hanya diwajibkan menghafal ayat-ayat hukum saja.

Kedua : Meski bukan syarat, tetapi rata-rata para ulama kelas paling rendah sekalipun, umumnya sudah hafal Al-Quran 30 juz sejak usia belia, sekitaran usia lima tahun sampai sepuluh tahun biasanya mereka sudah selesai menghafal 30 juz luar kepala. Bahkan menjadikannya ‘wiridan’ tiap hari.

Sebagian mereka malah ada yang mengkhatamkan 30 juz itu 2 kali dalam sehari. Dan hal itu mustahil dilakukan kalau bukan karena 30 juz itu sudah dihafal luar kepala.

Ketiga : Kalau sudah hafal 30 juz sejak usia 5 tahun kok sampai bisa lupa sama sekali, maka pasti ada hal yang tidak beres. Sebab biasanya hafalan sejak kecil itu akan terus melekat seumur hidup. Makanya para ulama di masa lalu akan terheran-heran kalau ada orang sudah hafal Quran sejak lima tahun usianya, lalu dia lupa semua, kemungkinannya dia murtad dari agama Islam. Karena itulah fatwanya menjadi : dosa besar!

Keempat : Namun buat kita yang hidup di zaman sekarang, wabilkhusus di Indonesia, usia 5 – 10 tahun itu rata-rata belum ada yang hafal. Paling jauh baru selesai IQRO’ jilid 6 saja. Kalau pun ada yang yang menghafal Al-Quran, biasanya cuma di pesantren khusus tahfizhul Quran. Namun biasanya santri dewasa setidaknya mereka yang sudah lulus SD.[]

[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa jilid 13 hal. 423
[2] Zakaria Al-Anshari, Asna Al-Mathalib, jilid 1 hal. 64
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9 hal. 86
[4] Faatwa Lajnah Daimah, jilid 4 hal. 99
[5] Kitabul Ilmi, hal 96-97

Sumber: rumahfiqih.com